Sesi
istrirahat dalam kajian masih berlangsung. Beberapa orang Muslimah
berjilbab terlihat tengah bersenda gurau, tawa mereka pecah beberapa
kali. Sepertinya topik yang mereka bicarakan benar-benar lucu.
Kegembiraan terlihat jelas di wajah mereka. Namun, sekonyong-konyong
datanglah seorang ibu yang sepertinya lebih senior menghampiri beberapa
Muslimah tadi, dengan wajah yang “agak seram” ia menghardik, “Hey,
jangan bercanda melulu. Tertawa itu menghilangkan harga diri dan
menyempitkan hati!” Kontan para Muslimah itupun terdiam.
Terlalu
banyak tertawa dapat menghilangkan wibawa dan harga diri serta
menyempitkan hati, memang salah satu isi surat Umar bin Abdul Aziz
kepada Adi bin Arta’ah. Namun, kehidupan sebagai seorang Muslim yang
taat berusaha menegakkan perintah-Nya pun bukan kehidupan yang mudah.
Berbagai rintangan, ujian, kesulitan bahkan kegetiran seringkali datang
dan melelahkan. Karena itu, setiap manusia pasti membutuhkan waktu untuk
rehat. Sekadar melepas penat agar tubuh menjadi gesit kembali dan
supaya jiwa tak menjadi goyah akibat beban yang terlalu berat.
Inilah
perlunya senda gurau dan sejenak beristirahat. Rasulullah SAW pun
mengajarkan kita untuk bersifat lemah lembut terhadap jiwa. Artinya,
jangan memaksakan sesuatu yang terlampau berat hingga melewati batas
kemampuan jiwa. Jiwa pun membutuhkan istirahat berupa suasana gembira.
Di antara suasana gembira itulah yang diciptakan dengan senda gurau dan
tawa.
Menebar Empati
Seandainya
saja Ibu tersebut sejenak mau mengetahui apa yang terjadi di balik
senda gurau tersebut, tentulah ia akan menjadi orang yang lebih bijak
dalam bersikap. Salah satu di antara Muslimah yang bercanda tadi adalah
se orang reporter yang baru saja pulang setelah begadang di kantor
mengejar deadline. Ia bahkan belum tidur sejak hari sebelumnya.
Seorang lainnya adalah seorang Muslimah yang benar-benar sedang
dirundung duka karena tak lagi mampu meneruskan kuliahnya akibat
terbentur biaya. Dan kini, ia tengah cuti kuliah dan bekerja serabutan,
demi bisa mengumpulkan kembali uang kuliah. Mereka, bersama beberapa
orang lainnya, berkumpul bersama dalam acara tersebut agar bisa bertemu,
berbagi cerita, dan sedikit melepas beban.
Alangkah
lebih baik jika setiap Muslim dapat menyikapi masalah dengan kepekaan
terhadap sesama dan tak cepat menyalahkan sesuatu yang mungkin “sedikit
keluar dari yang sepantasnya”. Agar jiwa tak menjadi kaku dan hati
kemudian mengeras seolah batu. Karena memang Rasulullah SAW pun
mengajarkan kepada kita untuk berempati dan bermuka manis pada saudara.
“Berusahalah untuk membuat gembira (orang atau kaum yang kalian
datangi tersebut) dan jangan membuat mereka menghindar. Demikian juga
berupayalah untuk mempermudah dan jangan mempersulit.”(HR. Ahmad)
Begitupun
para sahabat selalu bermuka dan bertutur dengan senyum manakala
menyampaikan sesuatu pada orang lain. Istri Abu Darda’ ra berkata,
“Setiap kali Abu Darda’ menyampaikan sesuatu, maka ia selelu
menyampaikan seraya tersenyum sehingga saya sampai berkata kepadanya,
‘Saya khawatir orang-orang nanti akan menganggapmu kurang waras.’ Akan
tetapi, dia lalu menjawab, ‘Setiap kali Rasulullah SAW menyampaikan suatu perkataan maka beliau selalu tersenyum.’” (HR. Ahmad)
Oleh
karena itu, biarkanlah saudara-saudara kita bahkan diri kita sendiri
untuk sejenak beristirahat. Rehat. Dengan sedikit canda tawa dan gurauan
yang menyegarkan jiwa. Namun, bercanda dan tertawa, harus tetap
layaknya Rasulullah SAW yang tertawa tetapi tak pernah sampai terlihat
anak lidahnya.
Sesuai dengan Tuntunan
Bercanda
dalam keseimbangan – yang di dalamnya tak pernah menjerumuskan orang
lain dalam kehinaan. Bercanda yang tak mendorong diri untuk berdusta,
tidak merendahkan orang yang lebih tua, juga tidak dilakukan kepada
orang yang memusuhi kita. Karena, canda kepada musuh, menurut para ahli
hikmah hanya akan membuka celah kelemahan kita pada mereka.
Disinilah
dituntut kemampuan diri kita untuk menjadi orang-orang yang tetap
berlembut hati tetapi juga disiplin dalam menerapkan tuntunan Islam.
Sehingga, kita dapat dengan bijak menimbang dan mengetahui kadar
bersikap yang seharusnya. Karena itu, ketika Ibnu Umar ditanya, apakah
sahabat Rasulullah SAW tertawa? Ibnu Umar, “Ya, mereka tertawa tetapi
keimanan dalam hati mereka laksana gunung.” Juga berkata Bilal bin
Sa’ad, “Merek a itu keras dalam mencapai tujuannya, tapi mereka satu
sama lain tertawa dan datang waktu malam , mereka menjadi ahli ibadah.”
[Ummu Arina/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar